Ma Chung Story – Part 1 – Dari Siswa Jadi Mahasiswa

Langkah awal sebuah perubahan

Prolog

Masa transisi setelah kelulusan dan wisuda bisa dibilang masa-masa galau buat sarjana baru. Saya pun demikian. Bingung antara keinginan langsung buka usaha, melanjutkan studi, atau ikut-ikutan cari kerja seperti kebanyakan teman-teman lainnya. Sebenarnya, sedikit banyak sih saya sudah merancang roadmap hidup saya ke depan. Tapi sebelum cerita tentang itu, saya lagi pingin nulis tentang cerita saya selama 4 tahun ini di Universitas Ma Chung Malang.

Post ini bukan untuk menyombongkan diri, bukan juga untuk ajak eksistensi. Sekali lagi, saya hanya ingin berbagi cerita.

Ehm, sebenernya saya pingin menceritakan sebagian dari rentetan post ini waktu wisuda, kalau-kalau saya diminta membawakan sambutan perwakilan mahasiswa. Tapi ternyata bukan jatah saya, ya sudah. Hehe…

Menjelang dan pasca kelulusan SMA

3 tahun saya sekolah di SMA Negeri 1 Malang. Jujur, bagi orang lain mungkin masa SMA adalah masa yang paling indah. Buat saya, bisa dibilang masa paling suram. Atau, lebih tepatnya awal mula masa tersuram seumur hidup saya. Teman-teman dekat saya semasa SMA mungkin tahu, bahwa di SMA inilah saya kehilangan sahabat terbaik saya. Sejak itu saya jadi benar-benar kehilangan arah. Apa saja saya lakukan dengan harapan bisa mengisi kekosongan yang tiba-tiba itu.

Setelah lulus, saya pun terombang-ambing. Dengan teman dekat saya yang lain pun, saya nggak ada kesepakatan tertentu mau masuk bareng ke kampus mana. Yang pasti, prinsip saya untuk nggak mau masuk universitas negeri tetap saya pegang teguh. Salah satu bentuk komitmen itu, saya memang sengaja nggak ikutan SPMB — Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, nama ujian nasional masuk perguruan tinggi waktu itu. Seandainya negeri pun, saya hanya mau ITB. Itupun saya juga merasa malas untuk belajar buat SPMB.

Ditambah lagi, kondisi keuangan keluarga saya waktu itu memang sedang kurang baik karena 3 bersaudara bersamaan pindah jenjang pendidikan. Jadi, saya berniat untuk masuk universitas swasta. Pilihan awal saya adalah VEDC dengan iming-iming D4-nya. Ya, waktu itu visi saya masih jadi pekerja yang punya skill tinggi. Beda dengan sekarang yang ingin segera sukses dengan jadi entrepreneur. Thanks to Universitas Ma Chung beserta lingkungannya yang mengubah paradigma saya.

Balik ke masa pemilihan kampus. Di suatu hari waktu perjalanan pulang sekolah, saya lihat sebuah banner besar di pinggir jalan. Kalo nggak salah, tulisannya itu iming-iming beasiswa di sebuah universitas baru di Malang. Beberapa hari setelahnya, saya coba jalan-jalan ke lokasi kampus itu.

Sempat nyasar, tapi ketemu juga kawasan perumahan Villa Puncak Tidar. Masih baru, jalannya masih setengah dibangun. Belum banyak rumah berdiri, malahan masih banyak tanah yang dijual. Kelihatan dari jauh gedungnya cukup besar. Saya nggak berani masuk, cuma lihat dari luar. Waktu itu, rasanya ada sebuah “panggilan” yang mengatakan bahwa ini adalah jalan saya.

Saya coba cari pengikut sebanyak mungkin di sekolah saya. Beberapa teman saya pengaruhi untuk ikut mencoba tes masuk kampus ini. Alhasil, waktu itu saya tes sama Gilang, dan dibayarin. Duit pendaftaran 100rb waktu itu sudah cukup besar bagi saya. Bodohnya saya, karena saya pikir bakal mudah, saya gak ada persiapan waktu ujian masuk. Padahal dari situ saja saya punya peluang untuk dapat beasiswa penuh. Akhirnya saya hanya dapat beasiswa berupa potongan uang gedung senilai 50%, jadinya hanya bayar 6jt saja.

Nggak habis pikir, dengan pertimbangan biaya yang nantinya akan dikeluarkan, serta peluang dan “bisikan” yang saya dapat, saya memilih Universitas Ma Chung ini. Oiya, sebelumnya saya juga sudah mendapat pengumuman diterima di STT Telkom. Sebenarnya oke juga kampus ini, dengan paradigma pekerja saya waktu itu. Sayangnya dengan pertimbangan biaya yang hampir sama dengan VEDC dan hitungan total di Ma Chung sampai lulus (sekitar 40jt minus transport dan uang sehari-hari), saya membulatkan tekad untuk menolaknya.

Sebelumnya saya sempat mencoba menguji kemampuan mengambil beasiswa luar negeri. Tapi dasarnya males belajar, waktu tes ya tanpa persiapan. Hasilnya? Tentu saja nihil. Suatu kebiasaan yang tidak patut dicontoh. Hehe…

Cukup banyak teman-teman sekolah yang bingung kenapa saya malah milih masuk universitas swasta ini daripada yang lainnya. Sekedar info, di SMA saya terkenal termasuk dalam golongan siswa “berotak”, yang kesannya bakal dengan mudah lolos SPMB.

Kembali ke masalah dana. Ya, jumlah uang yang harus dibayarkan pada saat pertama kali masuk kampus ini bukanlah suatu bilangan yang kecil. Apalagi waktu itu bebarengan dengan kenaikan jenjang studi adik-adik saya. Yang saya dari SMA ke kuliah, adik saya yang pertama dari SMP ke SMA, dan adik saya yang kedua dari TK ke SD. Alhamdulillah, kalau urusan pendidikan gini, orang tua saya nggak mau main-main. Meski cukup mahal, saya disupport untuk tetap masuk Ma Chung. Adik saya yang pertama masuk RSBI Darul Ulum Jombang, bukan sekolah yang murah juga. Adik saya yang kedua, diterima masuk SD Islam Sabilillah, yang emang sudah terkenal mahalnya.

Saking besarnya pengeluaran yang mesti dipersiapkan waktu itu, agar saya bisa membayar uang pangkal masuk kampus swasta nan mewah yang jumlahnya berjuta-juta ini, Ibu saya menjual sepeda motornya – Supra X generasi pertama. Jadinya Ibu saya harus naik angkot untuk berangkat ke kantornya yang notabene mesti ditempuh selama kurang lebih 30 menit. Jual sepeda motor itu pun nggak cukup, orang tua saya masih harus pinjam sini situ agar uang pangkal saya bisa terbayarkan. Banyak? Ya. Tapi inilah cikal bakal pemicu saya untuk terus berkembang di Universitas Ma Chung ini.

7 Juli 2007, Universitas Ma Chung resmi berdiri. Sebulan sebelum memulai tahun ajaran baru itu, saya sebagai calon mahasiswa baru menjalani masa orientasi universitas. Ya, sebulan. Cukup lama memang, tapi inilah salah satu hal luar biasa yang berbeda dari hampir seluruh kampus yang ada di Indonesia. Dan inilah awal dari perubahan diri saya yang saya rasa cukup drastis ini.

Masa lalu bukan untuk disesali, bukan juga untuk dipamerkan. Tapi masa lalu selalu bisa memberi pelajaran bagi yang mau untuk menjadi bijak.

— to be continued —

7 Comments

Leave a Reply to defree Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.