Ini adalah repost dari status Facebook saya, di tanggal 10 Oktober 2020 lalu. Setidaknya agar tersimpan di blog sendiri dan bisa dicari di Google. Beberapa kata ganti dan mention nama saya permudah, agar lebih nyambung dibaca di sini.
“Kalau saja bukan meninggal karena covid dan bukan di masa covid, pasti rumahmu sudah ruame ini, qi.” kata mas Didit (kakak sepupu) di rumah Sengkaling, pagi di hari meninggalnya Walid.
Walid? Iya, panggilan anak-anaknya untuk almarhum Romdlon Muchammad. Sebuah panggilan yang tidak umum di masa orde baru untuk seorang ayah/bapak. Bahkan akhirnya digunakan oleh saudara sepupu Bani Sun’an semuanya untuk memanggil beliau.
Semasa hidupnya, Walid senang bergaul. Berkomunitas. Berorganisasi. Mengambil peran di sana. Atau paling tidak, sekedar silaturrahmi. Dan itu dilakukannya secara konsisten. Ini membuat banyak orang kenal Walid.
Kemarin, pagi hari di Jumat tanggal 9 Oktober 2020, Walid dipanggil Gusti Allah. Memang tidak mendadak. Melalui proses sakit, hingga dirawat di rumah sakit selama beberapa hari.
Padahal, waktu masuk rumah sakit, hanya mengabari grup keluarga dan orang-orang terdekat. Hanya mohon dukungan doa. Tapi ternyata beritanya sampai ke seantero jagat maya. Menyebar dari grup ke grup. Entah mulainya dari mana.
Support datang dari sana-sini. Dukungan materiil dan non immateriil mengalir terus. Bahkan dana emergency yang saya siapkan nyaris gak terpakai, berkat semua dukungan yang ada.
Qadarullah, ternyata Allah lebih sayang Walid. Kabar rutin lewat telepon ICU RSSA selama 4 hari sebelumnya, yang mengatakan “kondisi stabil”, seolah-olah hanya ilusi. Kamis malam, dinyatakan kondisi memburuk. Hingga Jumat pagi, pertolongan terakhir terpaksa diusahakan.
Ya, Walid terkonfirmasi positif Covid-19. Bukan rahasia. Tidak perlu dirahasiakan. Dan menurut kami sekeluarga, bukanlah aib. Kita sudah berusaha melindungi diri. Tapi apa daya memang kondisi Walid yang super kecapekan setelah berbagai aktivitas fisik, menyebabkan mudah terinfeksi Covid-19 dengan efek yang cukup parah. Entah dari mana sumber penularannya.
Tidak ingin melalui drama. Sebagai warga negara yang patuh, juga untuk menjaga diri, keluarga, tetangga, saudara, dan seluruh orang yang kemungkinan melayat, maka pemakaman dilakukan dengan protokol covid. Alhamdulillah, boleh dimakamkan di pemakaman umum. Pemakaman umum Sengkaling yang jadi pilihan kami sekeluarga. Dekat dengan rumah.
Prosesinya cepat. Tidak perlu memanggil warga, tidak perlu menunggu anak-anak atau saudaranya berkumpul, tidak perlu memandikan dan mengkafani, tidak perlu mensholatkan di masjid dan tidak perlu mengangkat keranda dari rumah ke makam. Rasanya serba instan.
Mungkin, walid dari dulu itu tidak ingin kalau suatu saat meninggal, akan merepotkan banyak orang. Mungkin. Gak akan ada yang pernah tau. Walaupun seringkali di setiap hajatan duka tetangga, Walid yang merepotkan diri.
Yang pasti, meskipun sudah dihimbau untuk tidak perlu mengantar jenazah ke makam, ternyata masih cukup banyak yang datang ke pemakaman. Tenang, semua pelayat melihat dari jauh. Pengubur tetap melakukan sesuai protokol covid, dengan pakai APD lengkap.
Yang pasti, tidak perlu saya atau keluarga membuat pengumuman duka di socmed, wall-ku sudah berisi foto Walid dan ucapan duka dari berbagai kalangan. Itu baru wall-ku, yang mutual friend-nya dengan Walid tidak terlalu banyak. Entah berapa di wall teman-teman yang lainnya.
Yang pasti, tidak perlu undang-undang takziyah atau tahlilan. Para kenalan di setiap circle mengadakan sendiri-sendiri. Ada yang di lingkup perumahan. Di lingkup keluarga besar. Di lingkup komunitas/organisasi. Di lingkup musholla. Bahkan ada yang remote tahlil by Zoom. Keren ya, covid bisa bikin revolusi cara tahlilan. π
Dan yang pasti, ada banyak orang yang kehilangan sosok Walid. Karena bagi mereka, tentu ini mendadak sekali.
Mohon doanya untuk Walid, agar diterima semua amal ibadahnya, dihapus semua dosanya, dan tetap mengalir amal jariyahnya. Walid, we will miss you.
*Mungkin PR untuk besok, adalah menghormati teman dan kerabat yang mengucap duka, dengan membalas satu-persatu pesannya di Facebook Walid Romdlon Muchammad. Iya, tau. Banyak.
Edit 15 Juli 2021:
Seperti judulnya yang baru terpikirkan sekarang. Di hari meninggalnya Walid, saya masih berumur 31 tahun. Sebulan kemudian ulang tahun. Umur kepala 3 saja sudah nyesek kehilangan ayah. Gak kebayang ada teman-teman yang dari kecil atau umur belasan sudah kehilangan ayah. Beruntunglah kalian semua yang orang tuanya masih ada hingga kalian juga punya cucu.