Sebuah refleksi singkat di hari-hari normal dalam pandemi. Karena pandemi adalah new normal.
Kami pikir… Atau setidaknya, saya pikir… pandemi ini sudah mau berakhir.
Ketika akhir tahun 2020, hampir semua saham naik. Bull market. Bisnis naik.
Ketika awal tahun 2021, jalanan Kota Batu semakin ramai dan macet oleh wisatawan luar kota. Semua berlibur.
Ketika quartal 2 tahun 2021, banyak stories tentang naiknya crypto currency. Tanda perdagangan “barang ghaib” mulai naik. Mall pun ramai.
Saya pikir… wafatnya walid di Oktober 2020 lalu hanyalah musibah untuk sebagian keciiil saja keluarga yang kurang beruntung. Sebagian besar lainnya beruntung. Saya iri pada mereka.
Tapi sekarang, Bulan Juli 2021, adalah mimpi buruk yang berbeda. Musibah yang sama, menimpa lebih banyak manusia yang abai. Yang merasa sudah menang melawan pandemi.
Rumah sakit covid, semuanya penuh sampai antri-antri.
Oksigen dalam tabung, menjadi langka dan mahalnya selangit.
Ambulan dan mobil jenazah, harus antri dan bergantian.
Buntutnya, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan, yang sangat tidak menguntungkan UMKM.
Tidak sedikit permintaan donor plasma di stories Instagram dan WhatsApp. Tidak sedikit berita kematian diterima. Dari halo-halo masjid maupun postingan Facebook.
Salah satu tetangga saya, hari ini, berkata bahwa dia mendapatkan berita 3 kenalannya wafat. Innalillahi.
Meskipun saya ini INTJ, entah kenapa rasa empati saya cukup tinggi.
Wafatnya walid, alhamdulillah tidak serta merta merontokkan ekonomi keluarga kami. Setidaknya 2 dari 3 anaknya sudah mandiri. Berkecukupan.
Pada saat perawatan di rumah sakit maupun prosesi setelah meninggal, banyak sekali keluarga dan kerabat yang support. Semuanya serasa dimudahkan.
Di sisi lain.
Tidak jarang, seketika saya membayangkan, apabila ada satu keluarga kecil, perantauan, lalu kena covid. Orang tuanya. Lalu meninggal. Tanpa keluarga, ataupun kerabat dekat. Sediiih.
Tidak jarang, seketika saya membayangkan, apabila ada keluarga kecil yang orang tuanya adalah pekerja harian. Tempatnya bekerja terpaksa merumahkannya. Tidak punya penghasilan lain. Entah besoknya harus makan apa. Sekolah anaknya online. Harus pakai gadget. Harus bayar listrik. Sediiiih juga.
Gak jauh-jauh. Ada teman yang dikenal secara fisik sebelumnya. Entah teman SMP. Teman SD. Teman SMA. Posting berita duka kematian keluarganya. Lebih sedih lagi. I know how it feels. Saya berempati.
Tapi ini jangan sampai menjadi sebuah trigger yang membuat saya berpikir negatif. Karena empati yang berlebihan bisa membawa energi negatif ke diri. Di masa seperti ini, saya harus menjadi lebih dan lebih bersyukur. Masih punya pekerjaan dan penghasilan. Masih bisa investasi. Masih bisa berkumpul bersama keluarga karena rumah berdekatan. Dan yang penting, masih bisa bernafas dengan mudah.
Stay strong, good people!