Menjadi bijak itu emang gak semua orang bisa ngelakuin
Ya, sama. Saya juga masih belajar jadi bijak. Post ini terinspirasi dari sebuah kasus yang terjadi di kampus saya. Entah kenapa, jadi miris ngelihatnya. Saya sendiri tahu seberapa parahnya konflik ini baru hari ini. Telat banget yah? Maklum, udah angkatan tua, jadi jarang berkeliaran lagi di kampus. Hehe.
Menurut saya,
Salah satu langkah menjadi bijak adalah melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang yang berbeda
Itu yang saya coba lakukan setiap kali saya menilai sesuatu. Alhasil, saya jadi bisa lebih menghargai apa yang orang lain lakukan, dan tentu saja apa yang saya sendiri lakukan. Sebelum saya menilai orang lain, saya selalu memposisikan diri jadi orang yang saya nilai, bagaimana cara dia menilai saya. Saya juga memposisikan diri jadi orang lainnya, mencoba mengerti apa kepentingan dan maksud dari perkataan serta perlakuannya. Memang nggak gampang sih.
Nah, contohnya gini, sedikit analisis dari sebuah cerita fiksi.
1 – Posisi pertama
Saya coba memposisikan diri jadi seorang mahasiswa. Let say saya ini angkatan 2009, yang sudah kuliah at least 1 tahun. Karena saya nggak ngerti jurusan lainnya, anggaplah saya ini anak Teknik Informatika. Jadi bisa diasumsikan kalau saya sudah tahu beberapa dasar Teknik Informatika selama tahun pertama saya.
Tiba-tiba eh tiba-tiba, di awal tahun kedua saya, ada dosen baru pindahan dari universitas lain. Di lihat dari record-nya, beliau orang yang luar biasa. Sungguh aneh ngelihat orang seluar biasa itu mau ngajar di kampus saya. Dan karena Program Studi yang saya tempati ini dosennya cuma sedikit, mau nggak mau saya sebagai angkatan 2009 juga diajar oleh beliau.
Usut punya usut, ternyata beliau sedang mengembangkan sebuah bahasa pemrograman. Sebagai angkatan 2009 yang baru saja pegang pemrograman, saya nggak tahu niat dan tujuannya apa. Jadi, di awal saya ngikut aja.
Dan setelah berjalan sekian lama, saya merasa bahwa beliau orangnya sedikit weird. Kenapa? Ada beberapa kejanggalan yang saya rasakan. Selain mengembangkan bahasa pemrograman, beliau juga menulis beberapa buku teori, yang otomatis menggunakan praktek dengan bahasa pemrograman tersebut. Ternyata, beliau mencetak buku itu sendiri, dan mau gak mau saya beserta teman-teman “serasa” dipaksa membelinya.
Nggak cuma itu, ketidaknyamanan lain juga saya rasakan. Kenapa sih si dosen strict banget sama istilah? Dipikir-pikir, kan lebih enak istilah ini daripada istilah itu yang diharuskan pak dosen. Bahasa pemrogramannya juga aneh, gak seperti bahasa pemrograman yang saya pelajari di tahun pertama (ingat, saya baru belajar 1 tahun dan cukup merasa nyaman dengan bahasa yang saya pelajari sebelumnya).
Banyak juga teman saya yang merasakan hal serupa. Akhirnya kita semua sepakat melakukan boikot. Kita sepakat gak ada yang beli buku tulisan pak dosen itu. Pokoknya kita mau protes, dan bikin surat untuk kita sampaikan ke atasan pak dosen itu. Harus.
(Sekian sekelumit persepsi saya di contoh 1, persepsi di contoh 2 akan sedikit nyambung)
2 – Posisi kedua, si Dosen
Saya punya reputasi baik, dan banyak. Pernah kuliah dan kerja di luar negeri, nulis banyak buku, dan sebagainya. Tapi sekarang lets say saya sedang di sebuah universitas swasta di Kota Malang. Universitas yang baru, dengan banyak peluang besar sebagai pioneer di dalamnya. Anggap saja saya baru saja terbangun dari tidur panjang, tiba-tiba saja saya ada di Universitas ini (ingat, saya nggak tahu gimana yang sebenarnya, karena ini mencoba berpersepsi).
Saya dapat jatah ngajar angkatan 2009 jurusan Teknik Informatika di kampus saya. Kalau dipikir-pikir, masih anget-angetnya belajar IT. Jadi setidaknya, angkatan ini bakal lebih semangat daripada angkatan atas semester 7 yang sudah mulai bosan kuliah.
Oia, saya juga membuat sebuah bahasa pemrograman. Saya bikin itu salah satunya karena ketidakpuasan saya terhadap bahasa-bahasa pemrograman yang ada. Dengan teori yang saya pelajari dan hasil praktek yang saySaran terakhir buat kalian, coba deh memposisikan diri jadi si Dosen. Sekali aja, tapi mendalam.a alami, saya pastikan saya mampu membuat bahasa pemrograman yang jauh lebih baik. Salah satunya untuk pengajaran konsep pemrograman kepada para mahasiswa, karena saya melihat mahasiswa sekarang ini kurang menguasai konsep.
Repot juga kalau harus mengajari satu-persatu. Karena saya juga suka nulis, jadi saya buat bukunya. Sementara masih ada 2 edisi, tapi saya tekankan bahwa jika mahasiswa saya mau benar-benar menguasai konsep pemrograman, harus baca buku ini. Saya menentang keras pembajakan, jadi saya cetak buku ini untuk dibeli. Tapi karena saya bukan berniat ambil keuntungan, maka harga buku ini benar-benar sama persis dengan ongkos cetaknya.
Eh tapi, angkatan 2009 yang saya ajar ini nggak ngerespon dengan baik. Saya nggak tahu kenapa, kok segitunya menentang saya. Nggak ngehormati saya banget sih, sampe-sampe bikin surat protes segala. Kalian ini gak beli buku saya, tapi juga gak nguasai konsep yang bener. Kalau emang nguasai konsep, okelah gak usah beli buku saya. Tapi nyatanya? Dasar!
Oke, karena kalian sudah unyu-unyu gitu, saya juga nggak akan bantu kalian buat nyari koneksi ke perusahaan yang mau diadakan kunjungan. Titik.
3 – Posisi ketiga, orang lain sebagai pengamat yang tidak terlibat
Hm, saya juga mahasiswa di jurusan yang sama. Tapi nggak diajar si dosen itu, sudah angkatan atas. Berdasarkan cerita awal-awal dulu dari dosen lain sih, katanya si beliau ini benar-benar hebat. Punya teori sendiri bagaimana cara mengajarkan konsep pemrograman yang benar ke mahasiswa IT, bahkan sampai bilang kalau pingin bikin kurikulum sendiri dengan materi sendiri dan bahasa pemrograman buatan sendiri.
Beliau ini, kalau nggak jadi dosen, pasti sudah jadi orang sukses di dunia IT. Kemampuannya aja nggak diragukan lagi. Mikir nih, gimana ya bisa jadi orang seperti beliau?
Loh, kok ada konflik sih, antara dosen itu dengan angkatan bawah. Wah, denger-denger kok separah itu. Gimana sih ceritanya, jadi pingin tahu. Eh tapi, karena nggak bersangkutan, daripada kena semprot juga, mending gak ikutan lah. Kan bentar lagi juga lulus. Hehe…
4 – Posisi keempat, jadi saya sendiri sebagai orang sok bijak yang lagi pingin berkomentar
Disclaimer: saya nggak tahu kejadian yang sebenarnya dan persepsi sebenarnya dari tiap sisi, karena ini hanya fiksi semata dan berdasarkan dari apa yang saya tahu. Tapi dari sini, coba berlatih berpersepsi bahwa ada juga orang-orang (yaitu termasuk saya) yang melihat dan menilai semuanya seperti ini.
Aw aw aw aw… (bukan iklan). Sumpah, dua sisi sama-sama anehnya. Di tambah lagi posisi ketiga tuh yang pada diam aja dan nggak mau tahu. Jadi miris ngelihatnya, dan nggak tahan pingin jadi penengah yang mempertemukan kedua belah pihak untuk diajak ngobrol bareng. Tapi saya ini apa dibandingkan mereka? Jadi ngerasa nggak pantes buat menengahi, karena penengah itu biasanya lebih baik daripada dua sisi yang lagi konflik. Jadinya, saya coba nulis di blog aja lah.
Komentar saya ke sudut pertama. Bodohnya kalian, gak melihat dari sudut pandang lainnya. Berapa lama sih kalian terjun di dunia IT? Saya dengar ada yang bilang kenapa kok gak pake bahasa yang sudah familiar saja.
Hei, coba ingat ini. Si dosen itu udah jauh lebih berpengalaman dari kalian, dan sudah pegang macem-macem bahasa pemrograman. Mau ngalahin beliau? Saya jamin nggak bisa sekarang ini. Jadi beliau pasti tahu kelebihan dan kekurangan bahasa pemrograman yang ada, makanya menciptakan bahasa pemrograman versi beliau sendiri. Tujuannya? Salah satunya adalah untuk kalian ini, agar kalian bisa ngerti gimana konsep pemrograman yang sesungguhnya.
Sekedar share, karena nggak ada angkatan atas yang ditanya-tanyai, jadi saya mesti kerja keras belajar sendiri bahasa pemrograman (dalam hal ini Java), dan mencoba menguasai sendiri konsepnya secara otodidak. Saya jadi ngerti Java sebelum diajarkan di kelas yang notabene cuma satu mata kuliah saja.
Oke, lets say saya sedang dekat sama si dosen itu karena saya bimbingan skripsi ke beliau. Saya juga dijejali kok dengan apa yang dijejalkan ke kalian. Saya juga mau gak mau baca buku beliau biar bisa nyambung omongannya sama beliau. Dan ternyata yang saya sadari dengan kemampuan saya ini (meski baru pegang bahasa pemrograman selama 3 tahun), konsep yang diajarkan beliau benar-benar dasar dari segala dasar yang harus dikuasai seorang IT. Nyesel saya nggak diajari dari dulu, jadinya saya dapat ilmunya secara acak, nggak terstruktur.
Ya, saya sudah 3 tahun bekerja keras belajar sendiri bahasa pemrograman yang ingin saya kuasai, tanpa ada guru offline. Semua berbekal dari Om Google. Kalau nyambung sama anak yang sudah belajar bahasa pemrograman lain sebelumnya, dan sudah terbiasa dengan itu, coba lanjut baca persepsi saya ini.
Ngapain sih repot-repot protes dengan alasan bahasa nggak familiar? Men, dunia ini nggak selalu sesuai dengan keinginan kita. Nyatanya ntar, di dunia kerja sana, nggak cuma PHP yang harus kita kuasai. ASP, Java, C/C++, Python, Ruby, bahkan bahasa Shell aja harus kita tahu, at least. Jadi, ini sebuah peluang mempelajari suatu bahasa toh? Manfaatin donk.
Sudah pernah belajar satu bahasa dan merasa familiar dengan itu, jadinya susah? Gampang caranya. Konsepnya sih sama seperti belajar bahasa manusia. Sebagai orang Indonesia, mother tongue kita jelas kan Bahasa Indonesia. Ketika belajar Bahasa Inggris, apa yang kalian lakukan? Yang paling awal pasti menterjemahkan, kan? Dari English ke Bahasa Indonesia. Sama juga dengan belajar bahasa lain, pasti menghubung-hubungkannya ke mother tongue kalian.
Nah, coba hubungkan dengan kasus itu, anggap saja mother language programming-nya adalah C. Jadi kalau mau belajar bahasa pemrograman si dosen, hubung-hubungkan aja. Toh nyatanya perbedaannya cuma sedikit, dan paling pol juga dari syntax-nya. Saya juga gitu kok. Karena lets say saya sedang dekat untuk bimbingan skripsi, mau gak mau pendekatan si dosen adalah lewat bahasa pemrogramannya. Meski saya awalnya diajari C, tapi mother tongue saya sebenarnya adalah Java. Jadi ya tinggal saya hubung-hubungkan saja ke Java. Kalau sekarang ini saya lebih banyak main PHP, ya tinggal hubungkan aja. Gampang kan? Kalau memang ngaku benar sudah terbiasa dengan bahasa awal, pasti bisa kok ngelakuin ini.
Saran saya, turuti saya apa yang dilakukan si Dosen. Saya yakin gak ada niat si dosen buat mengantarkan kalian ke jalan yang sesat kok. Si dosen itu hebat loh. Di tengah kesibukannya itu, beliau sangat care kepada mahasiswanya, terutama yang di bawah bimbingannya. Termasuk saya, karena lets say saya juga bimbingan skripsi ke beliau. Yang harusnya mahasiswa yang aktif tanya-tanya ke dosennya, ini si dosen yang malah nyari mahasiswanya. Di mana lagi bisa nemuin dosen kayak gini? Beruntung banget toh.
Nggak ada salahnya kok belajar bahasa lain, yang bahkan mungkin bisa dibilang aneh. Eh, padahal kata “aneh” itu sendiri relatif loh, terhadap apa yang kita anggap nggak aneh. Saya sendiri optimis, dengan niat dan kerja keras beliau yang seperti itu, dan karena ini bahasa pemrograman buatan Indonesia yang pertama, pasti bakal booming. Kenapa kalian nggak mencoba merasa bangga karena sudah terlibat di pengembangannya? Hehe.
Tahu nggak, kalau beliau mau, detik ini pula beliau berhenti dari kampus Anda, dan mencari kesuksesan di kampus atau perusahaan lain. Beliau bisa dapat gaji 10x lebih banyak di luar sana (jadi ingat cerita dedikasi Bu Rektor yang sangat menginspirasi). Apa yang efeknya buat kalian? Kalian akan kehilangan salah satu dosen terhebat pencipta bahasa pemrograman pertama di Indonesia. Dan karena nyari dosen IT itu susah, apalagi buat kampus swasta baru, yang sekarang lagi kekurangan dosen juga, bisa jamin gak kalau dosen baru nanti lebih baik dari beliau? Cobalah merasa nyaman dengan keadaan yang ada. Segalanya kalau disyukuri, pasti akan jadi lebih indah kok. Percaya deh.
Belum bisa nerima? Coba tanya secara langsung apa alasan si dosen ngelakuin ini semua, biar jelas. Selama ini, yang saya tahu kalian itu cuma bergumam di belakang dan melihat dari sisi luarnya saja, tanpa mencoba tahu alasan sebenarnya. Tanyakan langsung kepada yang bersangkutan.
Saran terakhir buat kalian, coba deh memposisikan diri jadi si Dosen. Sekali aja, tapi mendalam.
Eits, belum selesai.
Sekarang komentar saya buat sisi kedua, pak beliau ini, nggak jauh beda. Saya tahu dan sangat sadar kalau bapak ini hebat, berdasarkan dari apa yang saya alami dan apa yang bapak ajarkan ke saya selama bimbingan, karena lets say saya ini mahasiswa bimbingan beliau untuk skripsi. Bapak memang punya niat baik yang mulia, dengan teori dan konsep luar biasa, untuk memajukan pemuda IT di negeri tercinta ini. Tapi ada sedikit yang keliru.
Cara penyampaian bapak. Coba deh, memposisikan diri jadi para mahasiswa. Yang namanya mahasiswa, kalau dipaksa pasti memberontak. Apalagi kalau itu “nggak ada asyiknya”. Ya… emang nggak semua mahasiswa sih bakal gitu.
Sebagai Dosen, otomatis jadi pemimpin para mahasiswa. Dan dari yang saya pelajari, skill komunikasi pemimpin harus baik agar yang dipimpinnya mengerti apa maksud dan tujuan si pemimpin. Gampangnya, bikin protocol deh antara dosen dan mahasiswa, jadi kan biar ada kesepahaman komunikasi. Sehingga nantinya juga jadi nggak bisa disalahkan. Karena jadi pemimpin itu berat, nggak boleh salah dan nggak boleh disalahkan.
Strict itu perlu, idealis juga gak salah, tapi alangkah baiknya untuk menguasai keadaan terlebih dahulu. Saya jadi pingin nengok ke ibu rektor saya yang bisa jadi pemimpin strict, tapi ramah dan menyenangkan. Sehingga mau gak mau yang dipimpin juga segan untuk tidak segan. Sebab beliau selain lets say pakar klorofil, beliau juga belajar ilmu leadership dan komunikasi.
Mereka ini masih hijau kok, dan belum tahu luasnya dunia. Kalau dikerasi, malah berontak. Kalau memang niatnya baik, ya coba dijelaskan dulu bagaimana diluar sana, dan juga alasan-alasan kenapa bapak melakukan semua ini. Kalau memang mau bikin sesuatu perubahan yang besar, maka tantangan awal adalah merubah mindset mereka ini. Ya, kan? Karena saya percaya dosen yang hebat adalah dosen yang mampu menguasai environment mahasiswa apa pun.
Sikap bapak juga yang menurut saya sedikit kekanak-kanakan untuk nggak membantu nyari koneksi perusahaan, juga berdampak ke yang lain loh. Sebab meski lets say para panitia dan himpunan sebagian besar dari anak 2009, peserta itu dari seluruh jurusan. Kalau sampai gagal, jadinya ngefek ke lainnya juga kan, termasuk saya, karena lets say saya juga mahasiswa di jurusan yang sama. Jadi, saya ikut merasakan dampak buruk itu, yang beralih dari orakel ke mikocok (padahal saya sudah semangat waktu dapat bocoran mau ke orakel).
Saya sangat menghormati bapak, karena selain lets say saya mahasiswa bimbingan skripsi bapak, saya juga ngerti seberapa hebat bapak ini, dari berbagai sisi. Dan saya pingin belajar juga dari bapak, terutama tentang ilmu IT. Nyatanya benar, meskipun saya merasa sudah mengerti tentang konsep-konsep itu, ternyata yang bapak berikan justru bisa lebih membekas di gudang ilmu saya.
Ups, belum selesai juga.
Buat pihak nomer 3, komentar saya, “ke laut aja deh loe”. Meskipun udah mau lulus, tapi apa kalian mau kalau almamater kalian jelek? Anggap aja paling parah kejadiannya. Konflik berkelanjutan, nggak hanya angkatan 2009 aja, ternyata 2010 juga. Dan saking emosiannya mereka, sampai-sampai ngadain demo yang bahkan sampai bakar ban di kolam renang, sobek-sobekin kertas terus disebar di gedung kuliah, garuk-garuk dinding sampai bikin suara “nging” yang gak enak didengar, dan sebagainya (sedikit lebai sih, hehe…).
Akhirnya, entah siapa pihak yang kalah, konflik tersebut terdengar di luar dan menurunkan citra universitas. Yang rugi juga sapa coba? Saya juga nggak mau kalau nantinya lulus, terus malu setiap ditanyain lulusan kampus mana. Saya ingin bisa mengatakan dengan bangga bahwa saya lulusan kampus ini. Kampus swasta terbaik di Indonesia.
Karena itu, saya juga berusaha care dengan capek-capek ngetik dan mikir cerita fiksi ini. Kalau sampai saya nanti gak tahan dengan konfliknya, saya pasti ambil tindakan dengan at least membuat open forum yang mempertemukan kedua belah pihak, dengan penengah kalau bisa ibu rektor. Meski saat ini saya bukan lagi menjabat sebagai apapun di kampus itu, karena lets say dulu saya pernah jadi ketua himpunan jurusan tersebut. Tapi sebenarnya saya nggak suka konflik, karena saya ini termasuk tipe plegmatis-melankolis. Hehe…

Berdamailah
Conclusion
Bukan berusaha menggurui, tapi buat semua (gak ada sangkut pautnya sama cerita fiksi di atas), coba introspeksi diri dulu sebelum men-judge orang lain. Posisikan diri dulu sebagai mereka. Parameter simple, coba anggap kalian itu mereka, dan apakah kalian bisa melakukan apa yang mereka lakukan? Apakah yang kalian rasakan jika menjadi mereka? Pertanyaan simple yang harus bisa kalian jawab untuk menjadi bijak.
Hindari konflik berkepanjangan, cobalah membicarakan semuanya. Kalau sama-sama berniat baik, saya yakin masalahnya cuma di komunikasi kok. Orang IT kan? Bikin lah protocol untuk itu. Atau setidaknya, interface lah kalau merasa berada di layer yang beda. Hehe… Kalau bukan orang IT, coba cari cara sendiri gimana komunikasi yang baik dan benar.
Menghargai orang lain, adalah salah satu cara agar diri kita dihargai. Kalau kita mulai untuk mencaci orang lain, suatu saat kita juga akan dicaci. Saya juga pegang prinsip, kalau gak mau dijahati, ya jangan menjahati orang lain. Hidup damai itu menyenangkan kok.
Tapi saya ngerti kok, untuk berbesar hati memaafkan dan menghargai orang lain itu nggak mudah, apalagi kalau sudah pernah ada konflik. Saya juga masih belajar untuk itu. Satu hal yang saya pelajari Krishnamurti, sang mindset motivator, adalah mem-blank-kan pikiran dulu. Jangan menilai orang lain karena masa lalu mereka. Lakukan semuanya selalu dari nol.
Disclaimer lagi: Sekali lagi, ini adalah cerita FIKSI karangan saya saja, untuk menghubungkan dengan conclusion saya di atas ini. Segala kesamaan nama, tempat, dan kondisi tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian yang sebenarnya. Mungkin saya juga ada salah kata dan sebagainya di post ini, mohon dimaafkan atau jika tidak terima, mohon dikoreksi secepatnya. Saya hanya ingin berbagi sudut pandang saya, yang selalu saya asah untuk mencapai Serenity tingkat tinggi.
Terakhir biar nggak lupa,
Salah satu langkah menjadi bijak adalah melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang yang berbeda…
Wah, ternyata tulisan saya jadi panjang juga ya. Semalaman ngetik gini… Hehe…
3 Comments
aldo (alumni FPKPI Kemenpora Riau)
January 14, 2011 at 8:58 pmaslm, mas haqi. izin ngopy paste ya. buat arsip bacaan. thnks
Haqqi
January 15, 2011 at 6:55 ammonggo, silahkan aja dicopy.. copyleft kok di sini.. hehe..
-Kharis
February 18, 2013 at 5:22 pmterkadang terlalu terburu buru, tanpa melihat dan mendengarkan berbaagai macam sudut pandang baru selama menjadi mahasiswa. you are WISEMAN, haqi. Nice to know you. SUKSES