Ini adalah repost dari status Facebook saya, di tanggal 11 Oktober 2020 lalu. Setidaknya agar tersimpan di blog sendiri dan bisa dicari di Google. Beberapa kata ganti dan mention nama saya permudah, agar lebih nyambung dibaca di sini.
“Sebetulnya penanganan Mas Romdlon sudah terlambat, Mbak“
“Ini jangan-jangan karena malpraktek rumah sakit“
Adaaaaa aja yang nyeletuk aneh-aneh. Bagi kami, terasa kesan menyalahkan. Baru dua ini yang saya dengar melalui adik Lubbi. Si bungsu yang mendampingi Ama (panggilan untuk Ibu) di rumah sejak awal Walid sakit hingga akhir hayatnya di rumah sakit.
Entah seperti apa yang ada di pikiran yang nyeletuk. Entah celetukan aneh apa lagi yang ada di luar sana. Saya yang (dengan sangat terpaksa) tidak bisa mendampingi di rumah Sengkaling, merasa tergelitik.
Kehilangan Walid sudah cukup memukul. Mbok ya, didoakan saja. Semuanya sudah takdir. Gak ada yang bisa disesali. Dan yang di luar sana, yakinlah tidak mengerti keadaannya, semengerti kami di sini. Se-merasa kami di sini.
Ya sudah, mari kita junjung keterbukaan informasi zaman now, dengan sebuah tulisan. Sekalian untuk jadi dokumentasi digital pribadi. Tulisan ini sudah melalui editor -Lubbi- untuk validitas infonya.
Sabtu, 26 Sept 2020. Seminggu sebelum masuk rumah sakit, Walid sudah mengeluh tidak enak badan. Dipikir hanya mau flu biasa. Karena biasanya kalau flu juga seperti itu gejalanya.
Tapi ternyata berlangsung panjang. Itu dengan tambahan gejala yang tidak seperti biasanya.
Hingga akhirnya, Walid masuk rumah sakit pada malam hari tanggal 3 Oktober 2020, ke RSI Unisma, Malang. Mulai detik itu, seluruh keluarga selain Ama dan Lubbi, menerima kabar Walid hanya dari pesan WA/Telegram saja.
Kok gak segera diantar, sih?
Walid yang gak mau. Mau recovery dulu di rumah katanya. Ikhtiar juga sudah dilakukan dengan periksa ke dokter umum sahabat Walid, di Batu. Beberapa hari sebelum masuk RS.
Sabtu malam. 3 Oktober 2020. Rapid test di RSI menyatakan non-reaktif. Iya, rapid test. Yang dikabarkan akurasinya memang relatif kurang baik. Sementara sih bisa bikin perasaan agak tenang.
Tapi saturasi oksigen sangat rendah, hingga menyentuh angka 70% saja. Pihak dokter RSI berkata, Walid membutuhkan ventilator. Alat yang mana hanya ada di rumah sakit besar, khususnya yang jadi rujukan covid. Deg.
Akhirnya dirujuklah ke RS Saiful Anwar Malang, Minggu pagi tanggal 4 Oktober 2020. Langsung ke ICU tempat isolasi pasien covid-19. Saat masuk ambulan-lah saat terakhir Ama dan Lubbi melihat Walid secara langsung.
Sampai sini, belum terkonfirmasi positif. Penanganan lebih dulu diutamakan untuk menaikkan saturasi oksigen. Langsung intubasi ventilator. Ditidurkan.
We were hopeless. Hanya bisa berdoa dan berharap melalui usaha tim penanganan covid di sana.
Berita hari pertama (Minggu-Senin), cukup menenangkan. “Kondisi bapak setelah intubasi, membaik. Saturasi oksigen sudah 98%, walaupun masih dengan full support ventilator.“, kata dokter ICU. Swab test baru akan dilakukan besoknya.
Sebagai inisiatif, agar semua keluarga inti bisa mendengar info dari rumah sakit, rekaman informasi dari RSSA kami rekam. Kami share hanya untuk grup internal. Selalu deg-degan setiap memutar rekaman yang dikirim, karena itu tentu sudah beberapa menit berlalu sebelum dikirim.
Alhamdulillah, ternyata banyak yang perhatian. Teman-teman walid berusaha cari jalur informasi direct, bahkan hingga ke direktur RSSA. Di hari-hari berikutnya, informasi kondisi juga datang dari forward-an WA beberapa sahabat Walid. Termasuk salah satunya dari Pak Walikota Malang. Itu kita gak minta bantuan apa-apa loh.
Hari Selasa, kami dapat info dari salah satu dokter, untuk membuat rekaman suara penyemangat. Suara rekaman akan coba diperdengarkan ke Walid dalam kondisi sedasi. Harapannya, bisa jadi penyemangat juang pasien. Walaupun akhirnya, ternyata tidak berhasil diperdengarkan. Entah kenapa.
Hari Selasa itu juga hasil swab Walid keluar, menyatakan positif. Terapi plasma darah dilakukan. Kami mengingat-ingat history ketemu siapa saja, untuk kepentingan tracing.
Hari Rabu, informasi kondisi masih menyatakan stabil. Relatif sama. Di satu sisi adalah berita positif, di satu sisi masih harap-harap cemas. Rabu ini juga, Ama dan Lubbi melakukan tes swab mandiri di rumah sakit terpisah. Biar lega.
Hari Kamis, pernafasan sudah dicoba untuk spontan. Tapi ternyata terjadi proses desaturasi. Berarti belum pergi nih virusnya. Masih bertarung.
Hari Rabu dan Kamis itu, entah kenapa kepala saya terasa pusing tidak seperti biasanya. Puncaknya Kamis sore. Sedemikian hingga sekitar jam 8 malam sudah menidurkan diri karena pusing. Biasanya tengah malam baru bisa tidur.
Kamis malam jam 22:00, terbangun. Ternyata ada rekaman telepon baru, kabar dari ruang ICU. Mengabarkan kondisi Walid yang tiba-tiba memburuk, hingga pada fase Asystol (jantung berhenti). Menurut dokter, alhamdulillah berhasil diberi pertolongan dengan injeksi entah apa itu namanya.
Malam itu feeling sudah gak enak. Istighfar, istighfar. Di grup tiga bersaudara, saya bilang, mesti siap dengan kemungkinan terburuk.
Walaupun kepala sudah gak terlalu pusing, saya memutuskan untuk tidak buka laptop kerja. Lebih memilih untuk istirahat dan melanjutkan tidur.
Besok paginya, terbangun dengan fisik yang bugar.
Jumat, 9 Oktober 2020, jam 7:32 pagi. Dapat forward-an kiriman rekaman kabar dari ICU. Menyatakan kondisi Walid semaaakin memburuk. Terjadi fase jantung berhenti, lagi. Dokter sedang mencoba melakukan pertolongan. Tapi sudah diwanti-wanti kalau ini adalah fase menuju proses kematian fisik.
Jam 7:44 pagi, Ama video call saya dan Muhammad Imbarothur Mowaviq. Bertiga. “Innalillahi, Walid sekarang sudah gak ada, leeee“. Tangisnya Ama pecah.
Pagi itu saya ambil hasil swab tes Ama dan Lubbi. Hasilnya positif. Alhamdulillah tanpa gejala. Entah terpapar dari Walid, selama merawat sakitnya di rumah. Atau justru terpapar waktu sempat tidur di ruang tunggu pendamping pasien covid di RSSA. Gak ada yang tahu. Dan gak perlu dibahas lebih lanjut.
Proses koordinasi pemakaman dibantu oleh Om Arifin yang bekerja di kecamatan. Segala administrasi biaya selama di rumah sakit, ditanggung BPJS. Prosesnya cuepet, gak belibet. Setelah sholat Jumat, makam sudah siap. Jenazah tiba sekitar pukul 2 siang.
Saya hanya ingat kisaran waktunya, karena tidak bisa pegang HP atau lihat jam. Badanku terbungkus APD lengkap, bersama dengan para petugas pemakaman.
Yang saya ingat, tidak lama setelah saya mengadzani Walid dari atas kubur untuk terakhir kalinya (sebelum diuruk tanah), suara adzan Ashar terdengar dari masjid terdekat.
Suasana sore itu sungguh syahdu. Matahari tertutup sebagian awan mendung. Tapi tidak hujan. Saya pakai APD lengkap pun, entah mengapa tidak merasa kepanasan sama sekali. Wallahualam.
Saat menulis ini, Ama dan Lubbi sedang isolasi mandiri di rumah. Tidak ada gejala berarti terlihat atau terasa. Bismillah semua aman-aman saja. Sedang berusaha positive thinking. Sedang menahan diri untuk berkumpul. Walaupun tentu saya amat sangat rindu.
Bahwa dengan diberikannya status positif covid-19 ini, jadi tidak perlu mengadakan tahlilan di rumah. Tidak perlu menerima tamu takziah siang-sore-malam tak kenal waktu. Jadi bisa istirahat dan fokus ke recovery. Sebuah hikmah positif yang bisa diambil.
Apakah tidak tahlilan? Oh, tenang saja. Walid ini NU sejati. Begitu pula circle-nya. Tahlilan tetap dilaksanakan oleh berbagai circle, baik offline maupun online. Tapi tidak di rumah sengkaling. Karena kirim doa, bisa dari mana saja, kan?
Tetangga pun mengadakan tahlilan di mushola. Keluarga besar pun bergantian jadi tuan rumah untuk tahlilan terbatas. Di mana-mana. Masyaallah. Matur nuwun.
Ssst, secara De Jure, Walid ini belum haji. Tapi entah dari mana, nisan makam ada gelar “H”. Demikian pula waktu mendengar sebutan namanya di tahlil dengan orang-orang, hampir selalu bonus tambahan gelar. Barakallah.
Edit 15 Juli 2021:
Setelah melewati hampir 1 tahun, kami sekeluarga sempat ngobrol-ngobrol. Bisa jadi Walid punya komorbid. Tapi gak mau cerita siapa-siapa. Takut Ama panik dan khawatir. Hanya beliau yang tau.